Kamis, 14 April 2022

Tanoto Student Research Award 2021 Hasilkan Inovasi Alat Pendeteksi Sleep Apnea

Hi, T-Friends! Saya Alifia Zahratul Ilmi, biasa dipanggil Alifia. Saya mahasiswi di Institut Teknologi Bandung (ITB) program studi Teknik Biomedis. Kali ini saya ingin berbagi cerita perjuangan saya beserta rekan tim saya hingga kami menjadi pemenang Tanoto Student Research Award (TSRA) 2021.  

Sejujurnya, saya dan teman-teman masih tidak menyangka bahwa alat pendeteksi sleep apnea yang kami buat begitu diapresiasi hingga mendapat penghargaan dalam kompetisi TSRA 2021. 

Ide awal pembuatan alat ini sebetulnya muncul dari dari keresahan teman saya yang ayahnya sering mendengkur keras sekali. Namun, karena masih banyak orang yang menyepelekan dan menganggap mendengkur sebagai pertanda tidur yang nyenyak, tanda-tanda sleep apnea pun sering diabaikan.

Sleep apnea sendiri merupakan gangguan tidur yang menyebabkan pernapasan seseorang berhenti sementara selama beberapa kali saat ia tidur. Nah, kondisi ini dapat ditandai dari dengkuran keras saat tidur dan tetap merasa mengantuk meski telah tidur lama.   

Perlu diketahui, ada beberapa jenis mendengkur yang berpotensi masuk dalam kategori sleep apnea yang bisa menyebabkan berbagai komplikasi penyakit. Beberapa di antaranya adalah sakit kepala berkepanjangan, tekanan darah tinggi, diabetes tipe dua, penyakit jantung, dan sebagainya.

Namun sayangnya, masih diperlukan biaya yang cukup besar untuk pasien dapat mendeteksi sleep apnea. Pasien perlu menjalani beberapa tes di klinik terapi tidur di rumah sakit dan harganya pun cukup mahal, klinik terapi tidur ini pun masih sedikit jumlahnya di Indonesia. Dari situlah saya bersama rekan-rekan, Muhammad Fairuziko Nurrajab, Eraraya Morenzo Muten, dan Kayyisa Zahratul Firdaus, membentuk tim untuk menciptakan prototipe alat pendeteksi sleep apnea ini. Cara kerjanya cukup sederhana, pasien hanya perlu memakai alat yang berbentuk seperti bantal leher saat mereka tidur dan sensor pun akan mulai bekerja untuk mendeteksi dengkuran. 

Dalam proses pengerjaan alat ini, kami menemukan cukup banyak tantangan. Sejak awal, kami perlu membuat timeline dan milestones yang membantu kami berbagi tugas agar dapat bekerja lebih efisien dari segi waktu dan tenaga. Tantangan lainnya adalah perbedaan waktu 12 jam antara saya yang saat itu berada di Amerika dan teman-teman di Indonesia. Tentu saja, kunci utama untuk mengatasi tantangan ini adalah komunikasi yang efektif. Jadi, jika ada hambatan seperti jadwal kuliah, proyek, dan tugas kelas, kami perlu langsung mencari win-win solution-nya. 

Salah satu hal yang saya syukuri dalam proses pengerjaan prototipe alat pendeteksi ini adalah bahwa kami sudah saling memahami kondisi satu sama lain karena komunikasi yang kuat satu sama lain. Kami juga saling memberikan masukkan satu sama lain dan saling mendukung agar tak segan mengeluarkan pendapat dan mampu mencari jalan keluar ketika bertemu perbedaan pendapat. 

Kendala lainnya yang kami hadapi sebagai tim adalah akses uji klinis karena klinik terapi tidur di indonesia masih sangat sedikit dan sulit dihubungi. Kami akhirnya mencari alternatif menggunakan jasa home testing yang harganya kurang lebih sama dengan tes di klinik.

Berlandaskan semangat kami yang ingin menciptakan alat yang terjangkau bagi masyarakat, prototipe awal kami berhasil menurunkan harga uji hingga 83% lebih murah dari rata-rata harga uji sleep apnea di rumah sakit. Namun, kami pun menyadari bahwa kualitas alat kami masih perlu ditingkatkan kembali dan mungkin berdampak pada kenaikan harga yang tidak terlalu signifikan. Ke depannya, kami berharap alat ini bisa diuji klinis dengan sempurna oleh dokter yang menangani sleep apnea, agar alat ini bisa diproduksi massal di Indonesia dan menyelesaikan masalah yang mengganggu kualitas tidur masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Comments