ENTIKONG XPEDITION “MENGABDI HINGGA KE UJUNG NEGERI” Oleh Hidayatul Fitri

Rasa syukur terus terucap saat Tanoto Foundation memberikanku kepercayaan untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan pengabdian masyarakat yang bekerjasama dengan yayasan Beasiswa 10.000. Kegiatan ini sangat menarik karena dilakukan diperbatasan negeri antara Indonesia dan Malaysia yang bernama Entikong. Sesuai dengan nama daerahnya kegiatan ini di beri judul “Entikong Xpedition”.
https://www.instagram.com/p/BuNf-xEAWhW/
Dusun Punti Engkaras merupakan dusun yang menjadi target kami selama satu minggu untuk mengabdi. Fokus kami adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan di dusun tersebut. 25 orang yang tergabung dalam misi ini terdiri dari berbagai daerah di Indonesia. Satu hal yang dapat aku pastikan, mereka semua adalah orang-orang hebat yang terpilih. Jiwa sosial, kepedulian, totalitas, loyalitas, ikhlas dan kekeluargaan adalah sifat yang ada pada diri mereka masing-masing yang sangat patut diberikan apresiasi. Hal ini dibuktikan dengan kerelaan mengorbankan waktu, tenaga, pikiran bahkan materi untuk mensukseskan rangkaian kegiatan Entikong Xpedition ini.
https://www.instagram.com/p/BuV6r6-grv8/
Setibanya di Pontianak ternyata kami harus menempuh perjalanan dengan bus selama 7 jam. Sepanjang perjalanan mungkin tidak banyak hal yang terlalu isitimewa. Namun, setelah memasuki jalan yang tidak beraspal kami harus menempuhnya dengan mobil truk milik TNI. Hati mulai tergugah dan bertanya-tanya mungkinkah ada kehidupan di dalamnya?. Jalan berbatu, berlumpur dan terjal harus dilewati sekitar 45 menit lamanya.
https://www.instagram.com/p/Bt2SPnIhzKY/
Sesampainya di dusun Punti Engkaras pegal dibadan akibat menahan hantaman-hantaman perjalanan yang penuh rintangan terasa mulai terbayarkan. Sore itu sekitar pukul 17.00 WIB warga sudah antusias menantikan kedatangan kami. Semua orang terlihat penasaran. Namun, anak-anak sangat terlihat suka cita. Lelahku terasa hilang melihat mereka yang penuh dengan keramahan. Hal unik yang kutemui lainnya adalah mereka pun sangat ramah dengan alam. Desa ini terasa sangat asri. Mampu hidup berdampingan dengan hewan seperti babi hutan, anjing dan ayam. Sejujurnya hal yang tidak pernah aku bayangkan selama ini adalah aku mampu hidup berdampingan dengan sekumpulan babi dengan tentram. Dusun ini semakin berkharisma menurutku.
Malam harinya kami mulai mengadakan pertemuan dengan kepala dusun. Kepala dusun merupakan salah satu orang yang dihormati. Namun aku cukup terkejut beliau tidak mampu berbahasa Indonesia dengan baik sehingga kami perlu menelaah maksud dari kalimat yang diucapkannya. Bahkan istrinya hanya bisa berbahasa dayak. Begitu kurangnya sentuhan globalisasi di dusun ini pikirku. Kedatangan kami pun sudah disambut dengan berbagai macam buah-buahan yang diambil langsung dari hutan. Tidak ada yang sengaja dibudidayakan sehingga buah yang kami makan pun terasa sangat istimewa.
https://www.instagram.com/p/BuNf-xEAWhW/
Kegiatan demi kegiatan disekolah pun dimulai. Alangkah terkejutnya aku menyaksikan kondisi sekolah yang hanya ada siswa kelas 1-3 saja. Sedangkan untuk melanjutkan sekolah mulai kelas 4-6 harus menempuh perjalan hingga 1 jam lamanya dengan berjalan kaki. Tidak ada kendaraan atau angkutan yang dapat membantu mereka mempermudah akses menuju sekolah sehingga mereka sudah harus berangkat sekolah sedari pukul 5.30 WIB. Seragam dilipat rapi di dalam tas agar tidak kotor. Sepatu dijinjing agar tidak cepat rusak. Tamparan pertama dalam diri yang aku rasakan sangat menyayat hati.
Ibu Umi namanya. Beliau sudah mengabdikan diri bertahun-tahun lamanya untuk mengajar anak-anak dusun Punti Engkaras yang bersekolah dari kelas 1-3. Ternyata aku benar menyaksikan sebuah kenyataan bahwa 3 kelas harus diurus oleh 1 orang guru. Benar saja, murid-murid kelas 1 masih banyak yang buta huruf. Kelas 2-3 pun masih banyak sulit membaca dengan lancar. Bagamana mungkin desa ini bisa maju pikirku jika generasi yang menjadi harapan saja tidak sepenuhnya mendapatkan hak mereka di dunia pendidikan. Sebagaimana yang kita ketahui, meningkatnya mutu pendidikan di Indonesia akan berimbas kepada peningkatan sumber daya manusia yang lebih berkualitas sehingga mampu membantu peningkatan kesejahteraan di suatu daerah. Pantas saja, kesejahteraan di dusun Punti Engkaras masih tergolong rendah dengan keadaan pendidikan saat ini.
https://www.instagram.com/p/BuPGVTcA0iJ/
Saat mengajar murid-murid di dusun ini terungkap satu fakta lagi yang membuat terkejut. Mereka tidak hafal lagu kebangsaan Indoensia Raya. Ternyata mereka tidak pernah sekali pun mengadakan upacara bendera di sekolah. Oleh karena itu, kami sepakat untuk mengadakan upacara bendera. Tiba di hari upacara berlangsung atmosfir yang tercipta sungguh haru membiru. Kurasakan begitu hening dan khidmatnya prosesi upacara. Terlebih lagi ketika bendera mulai dikibarkan. Indonesia Raya dikumandangkan. Air mata seluruh peserta upacara tidak terbendung lagi. Saat mengheningkan cipta terasa sangat sakral. Terbayang pahlwan-pahlawan yang dulu berjuang. Namun setelah 74 tahun merdeka dusun ini masih saja terasa terjajah oleh kesenjangan. Nasionalisme masih harus dipertanyakan. Tamparan diri kedua mulai aku rasakan.
Di sisi lain, siang hari sepulang sekolah hingga sore mereka yang kami suguhi beberapa buku bacaan sangat bersemangat untuk meminta diajarkan membaca. Meski masih terbata-bata tapi mereka terus membuka lembar demi lembar untuk dibaca. Setiap hari learning center yang kami usung tidak pernah sepi. Mereka tidak perlu disuruh untuk mengambil buku. Belajar mewarnai pun hingga lupa waktu. Niat awalku ingin memberikan semangat dan motivasi terasa tidak berlaku. Ku rasa kini akulah yang mulai tersemangati dan termotivasi karena mereka. Tamparan diri ketiga pun mulai menghampiri.
Setiap malam kami mengusung program menonton film-film perjuangan untuk memupuk jiwa nasionalisme seluruh lapisan warga dusun Punti Engkaras. Setiap malam pusat kegiatan ini tidak pernah sepi. Warga begitu antusias untuk menyaksikan film-film yang kami sajikan. Tidak jarang mereka terlalu cepat datang dan rela menunggu setiap malamnya. Sembari menonton beberapa warga yang datang tidak tangan kosong. Hasil kebun atau petikan buah dari hutan kerap kali mereka bawa dan berbagi dengan kami. Saat berbincang terbongkar lagi fakta bahwa selama ini mereka lebih sering menonton film-film Malaysia. Hati mulai terasa teriris kembali. Mereka seolah mudah dijangkau oleh Negeri seberang dan sulit dijangkau Negeri sendiri.
Selain itu, beberapa kegiatan yang dapat kami lakukan untuk pendekatan dengan warga yaitu olahraga bersama, berjalan-jalan mengitari dusun, mengunjungi ladang warga dan banyak lagi lainnya. Namun, saat aku memutuskan untuk ikut mengunjungi ladang warga disitulah ku lihat betapa memukaunya tanah surga Kalimantan Barat. Tidak hanya tanaman yang ditanam saja yang mampu tumbuh subur. Buah-buah tanpa ditanam dan dapat dikonsumsi warga pun sangat melimpah ruah. Pantas saja setiap hari kami selalu dapat kiriman buah-buahan dari warga. Air pun sangat jernih sehingga bisa langsung diminum dari sumber mata airnya. Segar dan melegakan untuk perjalanan yang cukup jauh, berlika-liku, naik turun dan bahkan perlu memanjat tebing-tebing. Anak-anak setia menemani perjalanan. Mengenalkan kami dengan beberapa tumbuhan unik yang bisa dimakan. Bahkan mereka pun seolah mejadi penjaga keselamatan selama perjalanan. Hati kami terasa sangat riang gembira melihat mereka selalu ceria dengan hiasan penuh tawa. Kulit mencoklat pun tidak lagi kami perhatikan.
https://www.instagram.com/p/BuRAEMnglcb/
Satu minggu berlalu tibalah waktunya kami untuk mengucapkan kata perpisahan. Warga turut serta dalam mempersiapkan konsep perpisahan. Mereka sangat antusian untuk membuatkan kami sebuah pesta perpisahan dengan menggunakan api unggun. Usut punya usut ternyata api unggun sangat spesial bagi mereka. Biasanya api unggun hanya ada saat perayaan malam tahun baru saja. Itu berarti biasanya hanya satu kali dalam setahun. Namun, kali ini mereka mau saling bahu membahu untuk merealisasikan acara ini. Para pemuda membantu mencarikan kayu di hutan. Panas teriknya matahari tidak menghalangi mereka untuk membantu kami. Anak-anak antusias berlatih untuk penampilan yang akan ditampilkan. Para tetua mempersiapkan untuk tradisi berdendang pantun.
Malam itu pun tiba. Penampilan anak-anak sangat ceria menyanyikan beberapa lagu dan gerakan yang kami ajarkan sambil mengibarkan bendera kecil di tangannya. Meski dengan pakaian seadanya mereka tampak sangat istimewa. Para pemuda pun tidak lupa untuk menyumbangkan suara emasnya menyanyikan lagu berlirik perpisahan. Kata sambutan demi kata sambutan selalu menyampaikan kesan dan pesan yang mendalam. Namun, ada satu momen yang sangat membuat batinku tersentak. Saat pemutaran video dokumenter kami selama seminggu yang berdurasi sekitar 7 menit kulihat berbagai sisi. Bukan hanya anak-anak yang menangis, tetapi orangtua dan para pemuda berbadan kekar pun menangis merasakan perpisahan yang akan terjadi diantara kami. Ketika bersalaman dengan semua lapisan masyarakat tidak jarang para orang tua yang mengucapkan terimakasih hingga menangis dan memeluk erat tubuh kami. Kini ku tahu, mereka benar- benar menganggap kami orang-orang yang diutus yang membawa harapan besar untuk dusun Punti Engkaras agar lebih baik lagi. Terlebih lagi harapan untuk anak-anak mereka agar dapat merubah nasib dan keadaan keluarganya.
Saat berpisah pun tiba. Pagi hari para warga sudah bersiap di depan rumah untuk melepaskan kepergian kami. Lagi-lagi mereka ingin kami bersalaman dengan mereka satu persatu. Doa-doa pun senantiasa mereka ucapkan untuk mengiringi kami. Ada satu hal yang aneh yang tidak aku temukan. Di hari minggu yang libur ini kemana perginya anak-anak yang biasa bermain dengan kami. Ku pikir mereka sibuk ke gereja karena mereka memang mayoritas beragama Kristen. Namun, setelah beberapa menit perjalanan menggunakan truk TNI ada beberapa anak yang berlari-lari mengejar truk yang kami tumpangi. Entah berapa jauh mereka berlari tanpa alas kaki dengan jalan bebatuan dan tak beraturan. Ku lihat dengan jelas ketidakrelaan mereka melepas kami pergi. Tapi apalah daya kami hanya mampu mengabdi tidak lebih dari 7 hari. Semoga dikemudian hari kami atau siapapun dapat hadir kembali ke dusun Punti Engkaras dan membawa harapan baru bagi para penghuni. Salam kami untuk para pengabdi negeri.
Tinggalkan Balasan